DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI
BAB
I : MUQADDIMAH
1.1 Latar
Belakang Masalah
1.2 Dasar
Pemikiran
1.3 Pengertian
Judul
1.4 Rumusan
Masalah
1.5 Tujuan
Pembahasan
1.6 Metode
Pembahasan
1.7 Sistematika
Pembahasan
1.8 Langkah-langkah
Penulisan
BAB
II : TAKHRIJ DAN SYARAH HADITS TENTANG PERUMPAMAAN PETUNJUK DAN ILMU
2.1
Takhrij Hadits
2.1.1
Pengertian, Metode dan Manfaat Takhrij Hadits
2.1.2
Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu
2.1.3
Isi Hadits
2.1.4
Gambaran Sanad
2.1.5
Keterangan Gambar
2.1.6
Hadits Penguat
2.1.7
Profil Perawi
2.2
Syarah Hadits
2.2.1
Pengertian, Hukum dan Ketentuan Umum Syarah Hadits
2.2.2
Mufrodat
2.2.3
Syarah Ijmali
2.2.3.1
Petunjuk
2.2.3.2
Ilmu
2.2.3.3
BAB
III : KHATIMAH
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
SINOPSIS
حلاصه
MARAJI’
(DAFTAR PUSTAKA)
BIOGRAFI
PENULIS
BAB
I
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Swt yang telah mengutus
Rasul-Nya dengan membawa ajaran yang benar bagi manusia. Kami memuji-Nya,
meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Dan kami berlindung dari kejahatan
yang menimpa kepada manusia.
1.1
Latar
Belakang Masalah
Islam adalah agama Allah yang telah di wahyukan
kepada Nabi Muhammad Saw.Islam juga termasuk agama yang sempurna, dan
satu-satunya agama yang di ridhai oleh Allah dibandingkan dengan agama lain.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran[3] : 19
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ
ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ
وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَاجَاءَهُمُ
ٱلْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَن
يَكْفُرْ بِـَايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Sesungguhnya agama
(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang
yang telah diberi kitab (kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Qur’an),
kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian diantara mereka.
Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat
perhitungan-Nya.
Islam
memberikan suatu penerangan atau petunjuk bagi hidup kita. Islam juga memberikan sebuah pengetahuan
kepada kita sehingga kita dapat menata kehidupan dengan baik.
Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Al-Qur’an
adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw secara mutawatri.
Al-Qur’an benar- benar terjaga pemeliharannya, dan tidak ada perubahan
sedikitpun dari zaman Nabi Muhammad Saw sampai sekarang. Dari waktu ke waktu banyak
umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diwahyukan bukan untuk
satu kaum atau waktu tertentu, tetapi berlaku untuk semua umat Islam sepanjang
zaman. Al-Qur’an mengandung hal-hal yang dapat mendorong manusia untuk berfikir
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, juga terdapat hukum-hukum Islam yang tidak
akan bisa berubah sampai kapanpun.
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama,
sumber hukum Islam yang kedua adalah As-Sunnah. As-Sunah atau Sunah adalah
segala perkataan (sabda), perbutan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad Saw yang dijadikan ketetapan atau hukum dalam agama Islam. As-Sunnah
itu sebagai penjelas, untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, karena tidak
setiap ayat menjelaskan dengan tuntas atau dimengerti langsung. As-Sunah
disampaikan dengan kata-kata yang disebut dengan Hadits.
Hadits adalah berita tentang segala perkataan
(sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan Nabi Muhammad Saw yang dijadikan
ketetapan atau hukum dalam agama Islam. Akan tetapi, hadits juga ada yang
kemungkinan diantara rawinya lemah hafalan atau salah dengar atau sengaja
berdusta atau bisa dikelompokan ada hadits yang Shahih dan ada juga yang
Dho’if. Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, perawinya
adil, kuat hafalannya, tidak cacat dan haditsnya tidak bertentangan dengan yang
lebih kuat. Sedangkan Hadits Dho’if adalah hadits yang cacat pada rawi dan putus sanad atau para perawinya, baik seorang
ataupun banyak, bisa terjadi pada awal, tengah, ataupun akhir sanad, juga bisa
nampak atau tersembunyi.
Diantara Hadits-hadits Shahih ada yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhary. Kitabnya dinamakan Jami’us-Shahih dan lebih dikenal
dengan nama “Shahih Bukhary” yakni kumpulan hadits-hadits shahih yang
beliau persiapkan kurang lebih selama 16 tahun. Beliau sangat berhati-hati
dalam menuliskan tiap hadits pada kitab ini.
Dalam kitab Shahih Bukhari disusun secara
temaik dengan nama Kitab dan Bab. Diantaranya ada Kitab Ilmu dan di antara
bab nya ada hadits yang membahas mengenai “Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu” yaitu
hadits nomor 79.
Untuk
mengetahui Takhrij dan Syarah Hadits tersebut, maka izinkanlah penulis untuk
menyelesaikan RQ (Risalah Qashirah) ini, yang diharapkan dapat memberikan
penjelasan, pelajaran dan keterangan atau kajian yang lebih mendalam.
1.2
Dasar Pemikiran
وَمَا كَانَ
ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِى ٱلدِّينِ
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya. (Q.s At-Taubah [9]: 122)
إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ ٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلْهُدَىٰ مِن بَعْدِ
مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِى ٱلْكِتَٰبِ أُولٰئِكَ
يَلْعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. (Q.s Al-Baqarah[2]:
159)
1.3 Pengertian
Judul
1.3.1
Takhrij
Hadits
Kata Takhrij berasal dari kata Kharraja,
Yukharriju, yang secara etimologi mempunyai arti berhimpun dua hal yang
saling bertentangan dalam satu persoalan. Para Ahli Hadits memaknai Takhrij
dengan :
1.
Sinonim kata Ikhraj,
yakni mengemukakan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya, yakni
orang yang menjadi mata rantai hadits tersebut. Sebagai contoh : Imam Bukhari
meriwayatkan hadits dengan menyebutkan sumbernya.
2.
Takhrij
terkadang digunakan untuk arti mengeluarkan hadits dan meriwayatkannya dari
beberapa kitab.
3.
Takhrij
terkadang juga disebut Al-adalah, yaitu menunjukkan dan menisbahkan
hadits kedalam (kitab) sumber-sumber hadits, dengan menyebutkan nama
penulisnya.
Sedangkan
secara terminologi, Takhrij berarti :
Mengembalikan atau menelusuri kembali ke asalnya
hadits-hadits yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad
pada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadits-hadits
dari segi shahih dan dha’if, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang
kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada
kitab-kitab asal atau sumbernya.
Untuk
selanjutnya akan dijelaskan pada BAB II.
1.3.2
Syarah Hadits
Kata Syarah diambil dari kata Syaraha,
Yasyrahu, Syarh yang secara bahasa berarti menguraikan sesuatu dan
memisahkan bagian satu dari bagian yang lainnya. Dikalangan para penulis kitab
berbahasa Arab, Syarah adalah memberi catatan atau komentar kepada
naskah atau matn (matan) suatu kitab.
Syarah tidak hanya
terbatas pada penjelasan naskah kitab yang berkutan dengan eksplanasi,
melainkan juga uraian dalan arti interpretasi. Dan kenyatannya syarah
tidak hanya berupa uraian dan penjelasan tentang suatu kitab secara
keseluruhan, tetapi juga bisa merupakan uraian sebagian kitab, bahkan uraian
terhadap suatu kalimat dari sebuah hadits itu juga disebut syarah.
Maka yang disebut dengan Syarah terhadap
kitab tertentu, maka itu adalah uraian atau penjelasan satu kitab secara
keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan ”Syarah Hadits” secara mutlak, maka
yang dimaksud adalah syarah terhadap ucapan, tindakan, dan ketetapan
Rasulullah Saw. beserta sanadnya. Disamping itu, syarah tidak harus
selalu berbentuk kitab atau karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara
lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna
hadits, seperti makalah dan artikel dapat disebut sebagai Syarah Hadits.
Demikian juga uaraian dan penjelasan hadits secara lisan dalam proses belajar,
pengajian, khutbah, ceramah dan sejenisnya bisa disebut sebagai men-Syarah
Hadits.
Jadi hakikatnya Syarah Hadits adalah
menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw sehingga menjadi
lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa lainnya. Bahkan dalam
hal ini syarah adalah menjelaskan sanad yang mengantarkan ucapan,
tindakan, dan ketetapan tersebut hingga ketangan para penulis hadits, sehingga
jelas identitas dan kualitas moral serta intelektual para rawi yang terangkai
di dalamnya. Mengsyarah hadits berarti berkata atas nama Rasulullah Saw.
Agar ucapan, tindakan, dan ketetapan beliau lebih bisa dimengerti maksudnya dan
dapat terhindarkan dari kesalah pahaman terhadapnya.
Untuk
selanjutnya akan dijelaskan pada BAB II
1.3.3
Petunjuk
Kata Hidayah adalah dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an
yang telah menjadi bahasa Indonesia. Akar katanya ialah : hadaa, yahdii,
hadyan, hudan, hidyatan, hidaayatan. Khusus yang terakhir, kata hidaayatan
kalau wakaf (berhenti) di baca : Hidayah, nyaris seperti ucapan bahasa
Indonesia.
Hidayah menurut bahasa berarti petunjuk. Lawan
katanya adalah : “Dholalah” yang berarti “kesesatan”. Secara istilah
(terminologi), hidayah ialah bimbingan dan petunjuk jalan yang akan
menyampaikan kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Hidayah
juga diartikan sebagai Diinul Islam.
Menurut para ahli dan para imam ada beberapa macam
hidayah, diantaranya dibagi menjadi 5 bagian :
1.
هِدَايَةُ
اْلوِجْدَان ( Hidayatul Wijdan ) adalah suatu
potensi naluri yang Allah SWT tanamkan pada manusia (makhluknya) sejak manusia
dilahirkan. Hidayah ini bersifat bawaan (potensi naluria/insting).
2.
هِدَايَةُ
اْلحَوَاس ( Hidayatul Hawwas ) adalah
kemampuan indrawi seperti kemampuan merasakan manis, pahit, panas, dingin,
terkena api itu terasa panas, es terasa dingin dll.
3.
هِدَايَةُ
اْلعَقْل ( Hidayatul ‘Aqli ) adalah
kemampuan berpikir, kemampuan untuk memahami fenomena, memberikan persepsi,
memberikan makna pada realita yang tertangkap oleh indera.
4.
هِدَايَةُ
اْلدِيْن ( Hidayatud Diin ) adalah berupa
petunjuk2 ajaran agama, fungsinya untuk membantu keterbatasan akal. Agama
berfungsi memberikan arahan-arahan yang mampu melampaui keterbatasan akal
manusia.
5.
هِدَايَةُ
اْلتَوْفِيْق ( Hidayatul Taufiq ) adalah suatu
kekuatan yang Allah SWT karuniakan pada manusia untuk mengamalkan dengan sungguh-sungguh
apa yang telah diketahuinya. Dengan kata lain, hidayah taufiq adalah hidayah
‘aqli dan hidayah ad-Dien yang kita amalkan.
1.3.4
Ilmu
Ilmu
menurut bahasa berasal dari kata علم
يعلم علما , yang artinya mengetahui. Kata Ilmu berbentuk
Isim Masdar yang dibaca ‘Ilman. Ilmu merupakan lawan
kata dari Al-Jahlu yang artinya tidak tahu atau bodoh.
Sedangkan
menurut istilah, ilmu adalah penjelasan
- penjelasan
atau petunjuk-petunjuk Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya, atau dengan
kata lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam bahasa Inggris Ilmu
biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge.
Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering
juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu
paada makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) :
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.”
1.3.5
Hadits Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu
Yang dimaksud dengan hadits tentang
Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, hadits nomor
79 adalah :
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الْنّبِيِّ .ص.
قَالَ : مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اْللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ الْغَيْثِ
الْكَثِيْرِأَصَابَ أَرْضَا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِبَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءِ، فَأَنْبَتَتِ
الْكَلأَ وَ الْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ الْمَاءَ،
فَنَفَعَ اْللهُ بِهَا اْلنَّاسَ، فَشَرِبُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا، وَأَصَابَ مِنْهَا
طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لَاتُمسِكُ مَاءً وَلَاتُنْبِتُ كَلأَ،
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِى دِيْنِ اْللهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اْللهُ
بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ
هُدَى اْللهِ اْلَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ. قَالَ أَبُو
عَبْد اللَّهِ قَالَ إِسْحَاقُ وَكَانَ مِنْهَا طَائِفَةٌ قَيَّلَتْ الْمَاءَ
قَاعٌ يَعْلُوهُ الْمَاءُ وَالصَّفْصَفُ الْمُسْتَوِي مِنْ الْأَرْضِ
Dari Abu Musa,
Nabi Saw. Pernah bersabda : “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh
Allah kepadaku adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi, lalu ada tanah
yang subur yang menyerap air hujan sehingga bisa menumbuhkan rerumputan dengan
subur, dan ada pula tanah yang keras yang bisa menyimpan air hujan yang Allah
mejadikannya bermanfaat bagi umat manusia sebagai air minum dan untuk mengairi
tanaman, serta ada pula tanah yang tandus yang tidak bisa menyimpan air, juga
tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Itulah (contoh pertama dan kedua) perumpamaan
orang yang memahami Isalm yang memperoleh keuntungan dari ajaran yang diberikan
oleh Allah kepadaku, kemudian dia mempelajari dan mengajrkannya kepada orang
lain, sedangkan (contoh ketiga) adalah perumpamaan orang yang tidak mau
memperhatikan ajaran dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” Berkata
Abu Abdullah; Ishaq berkata: "Dan diantara jenis tanah itu ada yang
berbentuk lembah yang dapat menampung air hingga penuh dan diantaranya ada
padang sahara yang datar".
(Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, hadits nomor 79)
1.4
Rumusan Masalah
1.4.1
Apa yang
dimaksud dengan Takhrij dan Syarah ?
1.4.2
Bagaimana
gambaran sanad pada Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu ?
1.4.3
Bagaimana
Takhrij dan
Syarah
Hadits pada Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu ?
1.4.4
Apa yang
dimaksud dengan Petunjuk dan Ilmu ?
1.4.5
Apa maksud dari
perumpamaan-perumpamaan yang tercantum dalam hadits tersebut ?
1.5
Tujuan
Pembahasan
Pembahasan
ini bertujuan untuk :
1.5.1
Untuk mengetahui
pengertian Takhrij dan Syarah
1.5.2
Untuk mengetahui
gambaran sanad pada Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu
1.5.3
Untuk memahami
Takhrij dan
Syarah
Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu
1.5.4
Untuk mengetahui
dan memahami arti dari Petunjuk dan Ilmu
1.5.5
Untuk mengetahui
dan memahami perumpamaan-perumpamaan yang tercantum dalam hadits tersebut
1.6
Metode Pembahasan
Metode pembahasan ini menggunakan metode
kepustakaan atau literatur yaitu dengan cara mengumpulkan, menela’ah dan
menganalisis buku-buku, data-data, artikel-artikel, kitab-kitab mengenai
Al-Qur’an dan Hadits-Hadits dari media cetak maupun dari media elektronik dan
mengutip argument-argument dari para ulama yang berkaitan dengan pembahasan
penulis kali ini yaitu mengenai “Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu “.
1.7
Sistematika Pembahasan
1.7.1
BAB I : MUQADDIMAH
1.1
Latar Belakang Masalah
1.2 Dasar Pemikiran
1.3 Pengertian Judul
1.4 Rumusan Masalah
1.5 Tujuan Penbahasan
1.6 Metode Pembahasan
1.7 Sistematika Pembahasan
1.8 Langkah-langkah Penulisan
1.7.2
BAB
II : TAKHRIJ DAN SYARAH HADITS TENTANG PERUMPAMAAN PETUNJUK DAN ILMU
2.1 Takhrij Hadits
2.1.1 Pengertian, Metode dan Manfaat Takhrij Hadits
2.1.2 Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu
2.1.3 Isi
Hadits
2.1.4 Gambaran
Sanad
2.1.5 Keterangan Gambar
2.1.6
Hadits Penguat
2.1.7 Profil
Rawi
2.2 Syarah Hadits
2.2.1 Pengertian, Hukum dan Ketentuan Umum Syarah Hadits
2.2.2 Mufrodat
2.2.2 Syarah Ijmali
1.7.3 BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
1.8
Langkah-langkah
Penulisan
1.8.1 Pengarahan tentang RQ oleh Ustadz
M.Rahmat Najieb,S.Pd.i
1.8.2 Menentukan tema
1.8.3 Mencari permasalah yang akan
dibahas
1.8.4 Pengajuan judul kepada Musyrif
1.8.5 Mengumpulkan data dari berbagai
sumber
1.8.6 Penyusunan BAB I
1.8.7 Revisi BAB I oleh Musyrif
1.8.8 Penyusunan BAB II
1.8.9 Revisi BAB II oleh Musyrif
1.8.10 Penyusunan BAB III
1.8.11 Revisi BAB III oleh Musyrif
1.8.12 Revisi keseluruhan
1.8.13 Sidang
1.8.14 Revisi sidang
1.8.15 Penandatanganan
BAB II
TAKHRIJ DAN
SYARAH HADITS TENTANG PERUMPAMAAN
PETUNJUK
DAN ILMU YANG DIRIWAYATKAN OLEH BUKHARI
2.1
Takhrij dan Syarah Hadits
2.1.1 Pengertian, Manfaat dan Metode Takhrij
Hadits
Pengrtian Takhrij
Kata
"Takhrij" adalah bentuk mashdar dari kata"خَرَّجَ ,يُخَرِّجُ, تَخْرِيْجًا". Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah dikatakan bahwa takhrij adalah
“menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu
masalah”.
Kata
lain yang hampir sama dengan takhrij adalah “ikhraj”. Kata dasar dari keduanya
adalah “khuruj”.Dari kata ini dapat dibentuk kata makhraj (isim makan), yang
berarti tempat keluar. Yang
dimaksud tempat keluar (makhraj) dalam kalimat itu adalah tempat dari mana
hadits itu keluar, yakni rangkaian orang yang meriwayatkannya, karena melalui
jalan merekalah Hadits itu keluar.
Mahmud Al-Thahhan memaknai Takhrij
dengan: “menunjukkan materi hadits di dalam sumber-sumber pokok yang
dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya bila
diperlukan.”
Syuhudi Ismail mendefinisikan dengan
“penelusuran atau pencarian hadits dalam berbagai Kitab sebagai sumber asli
dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara
lengkap matan dan sanad hadits yang bersangkutan.”
Menurut
terminologi, takhrij berarti: ”menunjukkan letak Hadits dalam
sumber-sumber yang asli (sumber primer) dimana diterangkan rangkaian sanadnya
kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer)
dimana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila perlu”.
Ilmu takhrij merupakan
bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya
dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Di
dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam
menentukan kualitas sanad hadis.
Takhrij
hadits bertujuan
mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah
mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita
akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah
‘ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik
asal-usul maupun kualitasnya.
Manfaat Takhrij Hadits
Adapun manfaat takhrij Hadits antara lain
sebagai berikut:
a.
Dapat diketahui banyak sedikitnya
jalur periwayatan suatu hadits yang sedang menjadi topik kajian;
b.
Dapat diketahui status hadits shahih
lidzatihi atau shahih lighairih, hasan lidzatih, atau hasan
lighairi. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir,
masyhur, aziz, dan gharibnya;
c.
Memperjelas hukum hadits dengan
banyaknya riwayat, seperti hadis dha`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan
akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadits tersebut kepada
derajat yang lebih tinggi;
d.
Memperjelas perawi yang samar,
karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang
sebenarnya secara lengkap;
e.
Dapat menghilangkan kemungkinan
terjadinya percampuran riwayat;
f.
Memperjelas perawi hadis yang tidak
diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya;
g.
Dapat membatasi nama perawi yang
sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai
kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama
perawi itu akan menjadi jelas;
h.
Dapat menjelaskan sebab-sebab
timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang ada;
i.
Dapat mengungkap kemungkinan
terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang
ada;
j.
Memberikan kemudahan bagi orang yang
hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah maqbul (dapat
diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa
hadis tersebut mardud (ditolak);
k.
Menguatkan keyakinan bahwa suatu
hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah saw. yang harus diikuti
karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik
dari segi sanad maupun matan.
Metode Takhrij
Hadits
Dalam Takhrij ada
beberapa macam metode yang digunakan yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya
sebagai berikut:
a.
Takhrij berdasarkan perawi hadits
dari sahabat
Metode ini digunakan
jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits yang akan diTakhrij.
Jika tidak diketahui nama sahabat yang meriwayatkannya tentu dapat
dilakukan Takhrij dengan metode ini. Untuk mengaplikasikan metode ini
diperlukan tiga Kitab yang dapat membantu. Kitab-Kitab berikut disusun
berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits itu.
1.
Al-Musanid (musnad-musnad).
Dalam Kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat
tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits,
maka kita mencari hadits tersebut dalam Kitab ini sehinga mendapatkan petunjuk
dalam satu musnad dalam kumpulan musnad tersebut.
2.
Al-Ma’ajim (mu’jam-mu’jam)
susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau guru,
sesuai huruf hijaiyah.
3.
Kitab-Kitab Al-Atraf. Kebanyakan
Kitab Al-Atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan
nama mereka sesuai dengan kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits
itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh Kitab Al-Atraf
tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
b.
Takhrij berdasarkan permulaan
lafadz hadits
Metode ini sangat
tergantung pada lafadz pertama Matan hadits. Hadits-hadits dengan metode
ini dikodifikasi berdasarkan lafazh pertamanya menurut huruf hijaiyah.
Misalnya, apabila akan men-Takhrij hadits yang tersembunyi.
Cara takhrij hadits dengan mengunakan
metode ini dapat dibantu dengan:
1.
Kitab-Kitab yang berisi
hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya; Ad-Durar
Al-Mutatsirah fi Al-AHadits Al-Musytaharah, karya As-Suyuti; Al-Laili
Al-Mansrah fi Bayani Kasirin min Al-AHadits Al-Musytahirah ‘Ala’ Al-Alsinah,
karya As-Sakhawi.
2.
Kitab-Kitab hadits yang disusun
bedasarkan huruf kamus, misalnya; Al-Jami’ As-Saghir min Al-Ahdis Al-Baysir
An-Nazir, karya As-Suyuti.
3.
Petunjuk-petunjuk dan indeks yang
disusun para ulama untuk Kitab-Kitab tertentu, misalnya; Mifta As-Sahihain. Karya
At-Taukadi; Miftah At-Tartib li Ahaaditsi Tasrikh Al-Khati. Karya Sayyid
Ahmad Al-Ghumari.
Metode ini mempunyai
kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang Mukharrij
untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode
ini juga mempunyai kelemahan yaitu apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafadz
pertamanya sedikit saja, maka akan sulit menemukan hadits yang dimaksud.
c.
Takhrij berdasarkan kata-kata
dalam matan hadits
Metode ini adalah
metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik
berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan
huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian
hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini
akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan
lafadz-lafadznya yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan
metode ini di antaranya adalah Kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-fuz Al-Hadits
An-Nabaw, karya Dr. Arinjan Vansink, seorang orientalis berkebangsaan belanda
(meningal1939 M). Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di dalam
sembilan Kitab induk hadits sebagaimana yaitu; Sahih bukhari, Sahih Muslim,
Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi,
Muwaththa’, Malik dan Musnd Imam Ahmad.
Metode ini memiliki
beberapa kelebihan yaitu mempercepat pencarian hadits dan memungkinkan
pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat pada Matan hadits.
Sedangkan kelemahan metode ini adalah terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan
satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
d.
Takhrij berdasarkan tema hadits
Metode ini berdasarkan
pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu untuk melakukan Takhrij dengan
metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan di
Takhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang
disusun melalui metode ini. Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu
tema dalam kasus yang demikian seorang Mukharrij harus mencarinya pada
tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadits tersebut.
Jelas bahwa Takhrij dengan
metode ini sangat tergantung pada pengetahuan terhadap tema hadits. Untuk itu
seorang Mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian
islam secara umum dan kajian fikih secara khusus. Kelebihan metode ini adalah
hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadits, tanpa memerlukan pengetahuan
tentang lafadz pertamanya.
e.
Takhrij berdasarkan status hadits
Metode ini
memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan Ulama Hadits dalam
menyusun hadits-hadits, yaitu penghimpunan hadits berdasarkan statusnya,
seperti Hadits Qudsi, Hadits Masyhur, Hadits Mursal, dan lainnya, dengan
mengetahui statusnya kegiatan Takhrij melalui metode ini dapat ditempuh, yakni
dengan merujuk pada Kitab-Kitab yang disusun secara khusus berdasarkan status
atau keadaan hadits tersebut. Seperti apabila Haditsnya Qudsi, kita dapat
mencarinya dalam Kitab himpunan Hadits-Hadits Qudsi, dan seterusnya. Di antara
Kitab-Kitab yang disusun atas dasar metode ini adalah: Al-Azhar
Al-Muatanasirah fi Al-Akhbar Al-Mutaatirah, yang memuat hadits-hadits
Mutawatir, karya Suyuti. Al-Ittihafat Al-Saniah fi Al-Ahadits al-Qudsiyah, yang
memuat hadits-hadits Qudsi, karya Al Madani.
2.1.2
Hadits tentang Perumpamaan Petunjuk dan Ilmu
Struktur Hadits terdiri dari Sanad dan Matan. Sanad merupakan Rangkaian
Rawi dan Matan merupakan isi hadits. Berikut adalah Hadits tentang Perumpamaan
Petunjuk dan Ilmu yang diriwayatkan Imam Bukhari lengkap dengan Sanad dan
Matan.
حَدَّثَنَا مَحَمَّدُ بْنُ اَلْعَلَاءِ
قَالَ : حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَنْ
أَبِيْ بُرْدَةُ عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الْنّبِيِّ .ص. قَالَ : مَثَلُ مَا بَعَثَنِى
اْللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضَا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِبَّةٌ
قَبِلَتِ الْمَاءِ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَ الْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَتْ
مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اْللهُ بِهَا اْلنَّاسَ،
فَشَرِبُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا، وَأَصَابَ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى،
إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لَاتُمسِكُ مَاءً وَلَاتُنْبِتُ كَلأَ، فَذَلِكَ مَثَلُ
مَنْ فَقُهَ فِى دِيْنِ اْللهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اْللهُ بِهِ فَعَلِمَ
وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى
اْللهِ اْلَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ
قَالَ إِسْحَاقُ وَكَانَ مِنْهَا طَائِفَةٌ قَيَّلَتْ الْمَاءَ قَاعٌ يَعْلُوهُ
الْمَاءُ وَالصَّفْصَفُ الْمُسْتَوِي مِنْ الْأَرْضِ
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Al’ala’, ia berkata : telah menceritakan
kepadaku Hammad bin Usamah, dari B uraid bin Abdullah, dari Abu Burdah, dari
Abu Musa, Nabi Saw. Pernah bersabda : “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang
diberikan oleh Allah kepadaku adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi, lalu
ada tanah yang subur yang menyerap air hujan sehingga bisa menumbuhkan
rerumputan dengan subur, dan ada pula tanah yang keras yang bisa menyimpan air
hujan yang Allah mejadikannya bermanfaat bagi umat manusia sebagai air minum
dan untuk mengairi tanaman, serta ada pula tanah yang tandus yang tidak bisa
menyimpan air, juga tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Itulah (contoh pertama
dan kedua) perumpamaan orang yang memahami Isalm yang memperoleh keuntungan
dari ajaran yang diberikan oleh Allah kepadaku, kemudian dia mempelajari dan
mengajarkannya kepada orang lain, sedangkan (contoh ketiga) adalah perumpamaan
orang yang tidak mau memperhatikan ajaran dan tidak menerima petunjuk Allah
yang aku bawa.” Berkata Abu Abdullah; Ishaq berkata: "Dan diantara jenis
tanah itu ada yang berbentuk lembah yang dapat menampung air hingga penuh dan
diantaranya ada padang sahara yang datar".
2.1.3
Isi Hadits
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اْللهُ بِهِ مِنَ
الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ
أَرْضَا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِبَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءِ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَ
الْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ الْمَاءَ،
فَنَفَعَ اْللهُ بِهَا اْلنَّاسَ، فَشَرِبُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا، وَأَصَابَ
مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لَاتُمسِكُ مَاءً
وَلَاتُنْبِتُ كَلأَ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِى دِيْنِ اْللهِ، وَنَفَعَهُ
مَا بَعَثَنِي اْللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ
بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اْللهِ اْلَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ إِسْحَاقُ وَكَانَ
مِنْهَا طَائِفَةٌ قَيَّلَتْ الْمَاءَ قَاعٌ يَعْلُوهُ الْمَاءُ وَالصَّفْصَفُ
الْمُسْتَوِي مِنْ الْأَرْضِ
“Perumpamaan
petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepadaku adalah seperti hujan lebat
yang turun ke bumi, lalu ada tanah yang subur yang menyerap air hujan sehingga
bisa menumbuhkan rerumputan dengan subur, dan ada pula tanah yang keras yang
bisa menyimpan air hujan yang Allah mejadikannya bermanfaat bagi umat manusia
sebagai air minum dan untuk mengairi tanaman, serta ada pula tanah yang tandus
yang tidak bisa menyimpan air, juga tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Itulah
(contoh pertama dan kedua) perumpamaan orang yang memahami Isalm yang
memperoleh keuntungan dari ajaran yang diberikan oleh Allah kepadaku, kemudian
dia mempelajari dan mengajrkannya kepada orang lain, sedangkan (contoh ketiga)
adalah perumpamaan orang ynag tidak mau memperhatikan ajaran dan tidak menerima
petunjuk Allah yang aku bawa.” Berkata Abu Abdullah; Ishaq berkata: "Dan
diantara jenis tanah itu ada yang berbentuk lembah yang dapat menampung air
hingga penuh dan diantaranya ada padang sahara yang datar".
2.1.4
Gambaran Sanad

2.1.5
Keterangan Gambar
Rasulullah Saw mengajarkan hadits kepada
Abu Musa tentang keutamaan orang yang memahami Islam dan mengajarkannya. Abu
Musa adalah seorang sahabat. Di dalam kitab Bukhari dijelaskan bahwa Abu Musa
menerima hadits tersebut dari Rasulullah dengan lafadz penyampaian ‘an yang
artinya redaksi sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksi haddatsana. Itu
menandakan bahwa Abu Musa sezaman, bertemu, dan berguru kepada Rasulullah Saw.
Didalam ilmu mushtolah hadits yang seperti itu dinamakan sahabat.
Kemudian Abu Musa menyampaikan
hadits kepada Abu Burdah tentang keutamaan oarang yang memahami Islam dan mengajarkannya.
Abu Burdah adalah orang dari kalangan tabi’in pertengahan. Dalam kitab Bukhari
dijelaskan bahwa Abu Burdah menerima hadits tersebut dari Abu Musa dengan
lafadz penyampaian ‘an yang artinya redaksi sanad dengan ‘an posisinya sama
dengan redaksi haddatsana. Itu menandakan bahwa Abu Burdah bertemu
langsung dengan sahabat atau Abu Musa dan pasti sezaman dan berguru. Didalam
ilmu mushtolah hadits yang seperti itu dinamakan tabi’in.
Kemudian Abu Burdah
menyampaikan hadits kepada Buraid bin Abdullah tentang keutamaan orang yang
memahami Islam dan mengajarkannya. Buraid bin Abdullah adalah dari kalangan
Tabi’in ( tidak bertemu dengan sahabat ). Dalam kitab Bukhari dijelaskan bahwa
Buraid bin Abdullah menerima hadits tersebut dari Abu Burdah dengan lafadz
penyampaian ‘an yang artinya redaksi sanad dengan ‘an yang artinya redaksi
sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksi haddatsana. Itu
menandakan bahwa Itu menandakan bahwa dia bertemu langsung dengannya dan pasti sezaman
dan berguru.
Kemudian Buraid bin Abdullah
menceritakan hadits kepada Hammad bin Usamah tentang keutamaan orang yang
memahami Islam dan mengajarkannya. Hammad bin Usamah adalah dari kalangan
Tabi’ut Tabi’in biasa. Dalam kitab Bukhari
dijelaskan bahwa Buraid bin Abdullah menerima hadits tersebut dari Hammad bin
Usamah dengan lafadz penyampaian haddatsana. Itu menandakan bahwa dia bertemu langsung dengannya dan pasti
sezaman dan berguru.
Kemudian Hammad bin Usamah menceritakan
hadits kepada Muhammad bin Al’ala’ tentang keutamaan orang yang memahami Islam
dan mengajarkannya. Muhammad bin Al’ala’ adalah dari kalangan Tabi’ul Atba’
senior. Dalam kitab Bukhari dejelaskan bahwa Muhammad bin Al’ala’ menerima
hadits tersebut dari Hammad bin Usamah dengan lafadz penyampaian haddatsana.
Itu menandakan bahwa dia bertemu langsung dengannya dan pasti
sezaman dan berguru.
2.1.6
Hadits Penguat
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو عَامِرٍ الْأَشْعَرِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ وَاللَّفْظُ لِأَبِي عَامِرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ
بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ
مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا
طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ
الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا
النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا
أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ
اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا
وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Abu 'Amir Al Asy'ari
serta Muhammad bin Al 'Allaa lafazh ini milik Abu Amir mereka berkata; Telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Perumpamaan agama
yang aku diutus Allah 'azza wajalla dengannya, yaitu berupa petunjuk dan ilmu
ialah bagaikan hujan yang jatuh ke bumi. Diantaranya ada yang jatuh ke tanah
subur yang dapat menyerap air, maka tumbuhlah padang rumput yang subur.
Diantaranya pula ada yang jatuh ke tanah keras sehingga air tergenang
karenanya. Lalu air itu dimanfaatkan orang banyak untuk minum, menyiram kebun
dan beternak. Dan ada pula yang jatuh ke tanah tandus, tidak menggenangkan air
dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah perumpamaan orang
yang mempelajari agama Allah dan mengambil manfaat dari padanya, belajar dan
mengajarkan, dan perumpamaan orang yang tidak mau tahu dan tidak menerima
petunjuk Allah yang aku di utus dengannya."
2.1.7
Profil Perawi
2.1.7.1 Al – Bukhari
Imam al-Bukhari namanya adalah Abi
‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardzubah,
adalah ulama hadits yang sangat mahsyur. Kelahiran Bukhara, suatu kota di
Uzbezkistan, wilayah Uni Sovyet, yang merupakan simpang jalan antara Rusia,
Persi, Hindia, dan Tiongkok. Beliau lebih terkenal dengan nama al-Bukhari
(putra daerah Bukhara). Beliau dilahirkan setelah selesai sholat Jum’at, pada tanggal 13
Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Seorang muhadits yang
jarang tandingannya ini, sangat wara’, sedikit makan, banyak membaca Al-Qur’an,
baik siang maupun malam, serta gemar membuat kebajikan kepada murid-muridnya.
Nenek moyang beliau yang bernama
Al-Mughirah bin Bardizbah, konon adalah seorang Majusy yang kemudian menyatakan
keislamannya di hadapan walikota yang bernama Al-Yaman bin Ahnas Al-Ju’fy, yang
karena inilah kemudian beliau dinasabkan dengan Al-Ju’fy atas dasar walaul
islam.
Sejak umur 10 tahun lebih, beliau sudah
mempunyai perhatian dalam ilmu-ilmu hadits yang tidak sedikit jumlahnya. Beliau
merantau ke negri Syam, Mesir, Jazirah sampai dua kali, ke Basrah empat kali,
ke Hijaz bermukim 6 tahun dan pergi ke Bagdad bersama-sama para ahli hadits
yang lain, sampai berkali-kali.
Pada suatu ketika, beliau pergi ke
Bagdad. Para ulama hadits di Bagdad sepakat menguji ulama muda yang mulai
menanjak namanya. ‘Ulama hadits tersebut dari 10 orang yang masing-masing akan
mengutarakan 10 hadits kepada beliau, yang sudah ditukar-tukar sanad dan
matannya, Imam bukhary diundang pada sutau pertemuan umum yang dihadiri juga
oleh muhaditsin dari dalam dan luar ko ta.
Bahkan diundang juga ‘ulama hadits dari Khurasan.
Satu demi satu dari 10 ‘ulama hadits
tersebut menanyakan hadits yang telah mereka persiapkan. Jawaban beliau
terhadap setiap hadits yang di kemukakan oleh penanya pertama ialah saya tidak
mengetahuinya.
Demikianlah selesai penanya pertama,
majulah penanya kedua dengan satu-persatu di kemukakan hadits yang sudah
disiapkan dan seterusnya sampai selesai penanya ke sepuluh dengan
hadits-haditsnya, jawabannya pun saya tidak menegetahuinya. Tetapi setelah
beliau menegetahui gelagat mereka yang bermaksud untuk mengujunya, lalu beliau
menerangkan dengan membenarkan dan mengembakilan sanad-sanadnya pada matan yang
sebenarnya satu-persatu sampai selesai semuanya. Para ‘ulama yang hadir pada
tercengang dan terpaksa harus mengakui kepandaiannya, ketelitiannya dan
hapalannya dalam ilmu hadits.
Beliau telah memperoleh hadits dari
beberapa hafidh, antara lain Maky bin Ibrahim, ‘Abdullah bin ‘Usman Al-Marwazy,
‘Abdullah bin Musa Al-‘Abbasy, Abu ‘Ashim As-Syaibany dan Muhammad bin
‘Abdullah Al-Anshari.
‘Ulama-‘ulama besar yang pernah
mengambil hadits dari beliau, antara lain : Imam Muslim, Abu Zur’ah,
At-Turmudzy, Ibnu Khuzaimah dan An-Nasa’iy.
Karya-karya beliau banyak sekali
diantaranya :
1. Al-Jami’ as-Shahih yang
dikenal dengan Shahih Bukhari
2. Al-Adab al-Mufrad
3. Ad-Du’afa as-Sagir
4. At-Tarikh as-agir
5. At-Tarikh al-Ausath
6. At-Tarikh al-Kabir
7. Birru ‘l-Walidain
8. At Tafsir Al Kabir
9. Al Musnad al Kabir
10. Kitab al 'Ilal, Raf'ul
11. Yadain fis Salah
12. Asami As Sahabah
13. Al Hibah
Beliau wafat pada malam
Sabtu selesai sholat Isya, tepat pada malam ‘Idul Fitri tahun 252 H (870 M),
dan dikuburkan setelah sholat dzuhur di Khirtank, suatu kampung yang tidak jauh
dari kota Samarkand.
2.1.7.2
Muhammad bin Al’ala
Nama lengkap beliau adalah Muhamad bin
Al’ala bin Kuraib al-Hamdani. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Kuraib
al-Kufi al-Hafidzi salah satu orang terkemuka. Beliau dari kalangan Tabi'ul
Atba' senior. Beliau hafal hadits sebanyak 1300. Ibnu Ukdah telah berkata,
beliau lahir di Kufah. Dan semasa hidupnya beliau tinggal di Kufah. Muhammad
bin Al’ala digunakan untuk meriwayatkan hadits oleh Imam Bukhari sebanyak 54
hadits, Imam Muslim 488 hadits, Imam Abu Dawud sebanyak 94 hadits, Imam
Tirmidzi sebanyak 176 hadits, Imam Nasai 34 hadits, Imam Ibnu Majah sebanyak
105 hadits, Imam Ahmad sebanyak 4 hadits dan Imam ad-Darimi sebanyak 16 hadits.
Bukhari berkata beliau wafat pada tahun 248 H.
2.1.7.3
Hammad bin Usamah
Nama lengkap beliau adalah Hammad bin
Usamah bin Zaid. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Usamah. Beliau dari
kalangan Tabi’ut Tabi’in biasa. Semasa hidupnya beliau tinggal di Kufah. Hammad
bin Usamah digunakan untuk meriwayatkan hadits oleh Imam Bukhari sebanyak 180
hadits, Imam Muslim sebanyak 246 hadits, Imam Abu Dawud sebanyak 54 hadits, Imam
Tirmidzi sebanyak 44 hadits, Imam Nasai sebanyak 30 hadits, Imam Ibnu Majah
sebanyak 100 hadits, Imam Ahmad 93 hadits dan Imam ad-Darimi sebanyak 29
hadits. Dan beliau wafat paada tahun 201 H.
2.1.7.4
Buraid bin
Abdullah
Nama lengkapnya Buraid bin Abdullah bin
Abu Burdah al-As’ari bin Abi Musa. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Burdah
al-Kufi. Beliau dari kalangan Tabi’in (tidak berjumpa dengan sahabat). Buraid
bin Abdullah digunakan untuk meriwayatkan hadits oleh Imam Bukhari sebanyak 58
hadits, Imam Muslim sebanyak 33 hadits, Imam Abu Dawud sebanyak 7 hadits, Imam
Tirmidzi sebanyak 9 hadits, Imam Nasai sebanyak 4 hadits, Imam Ibnu Majah
sebanyak 6 hadits, dan Imam Ahmad sebanyak 22 hadits. Semasa hidupnya beliau
tinggal di Kufah.
2.1.7.5
Abu Burdah
Nama lengkapnya Amir bin ‘Abdullah bin
Qais. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Burdah. Beliau dari kalangan Tabi’in
pertengahan. Semasa hidupnya beliau tinggal di Kufah. Abu Burdah digunakan
untuk meriwayatkan hadits oleh Imam Bukhari sebanyak 89 hadits, Imam Muslim sebanyak
66 hadits, Imam Abu Dawud sebanyak 32 hadits, Imam Tirmidzi sebanyak 22 hadits,
Imam Nasai 27 hadits, Imam Ibnu majah sebanyak 25 hadits, Imam Ahmad sebnayak
123 hadits, Imam ad-Darimi sebanyak 17 hadits. Dan beliau wafat pada tahun 104
H.
2.1.7.6 Abu Musa
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin
Qais bin Salim bin Khadar bin Harb bin Amir bin al-Asy’ar Abu Musa al-Asy’ary. Beliau
dikenal sebagai imam besar, sahabat Rasulullah SAW, dan ahli ilmu fikih yang
mengajarkan Al Qur`an. Dia termasuk sahabat yang berguru kepada Nabi SAW,
mengajar penduduk Bashrah membaca Al Qur an, dan memahamkan agama kepada
mereka.
Hadits
beliau diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary sebanyak 149 hadits, Imam Muslim
sebanyak 101 hadits, Imam Abu Dawud sebanyak 49 hadits, Imam At-Tirmidzy
sebanyak 38 hadits, Imam An Nasai sebanyak 53 hadits, Imam Ibnu Majah sebanyak
47 hadits, Imam Ahmad sebanyak 277 hadits, Imam Malik sebanyak 4 hadits, Imam
ad-Darimi sebanyak 29 hadits. Menurut Ibnu Hajar beliau adalah seorang sahabat
atau orang yang mendapat ta’dil sohabi, begitu juga menurut Imam
adz-Dzahaby, beliau mengatakan demikian dan beliau menambahkan kedua anak
beliau yaitu Zabid dan Adan diwalikan untuk Nabi Saw. Abdullah bin Qais
meninggal pada tahun 50 H di Makkah dan ada yang mengatakan beliau meninggal di
Tsaubah.
2.1.7.7 Ishaq
Nama lengkap beliau adalah Ishaq bin
Ibrahim bin Makhlad. Beliau lebih dikenal dengan nama Abu Ya’qub. Beliau dari
kalangan Tabi’ul Atba’ atau kalangan senior. Semasa hidupnya beliau tinggal di
Himsh. Ishaq digunakan untuk meriwayatkan hadits oleh Imam Bukhari sebanyak 103
hadits, Imam Muslim sebanyak 618 hadits, Imam Abu Dawud sebanyak 5 hadits, Imam
Tirmidzi sebanyak 1 hadits, Imam Nasai sebanyak 348 hadits, Imam Ahmad sebanyak
7 hadits, Imam ad-Darimi sebanyak 33 hadits. Dan wafat pada tahun 238 H
2.2 Syarah Hadits
2.2.1 Pengertian, Hukum, dan Ketentuan
Umum Syarah Hadits
Pengertian
Syarah
Menurut
Kamus Al-Munjid fi al-Lughah kata Syarah (syarh) diambil dari kata “شَرَحَ,يَشْرَحُ,شَرْحًا ” yang secara bahasa berarti menguraikan dan memisahkan bagian
sesuatu dari bagian lainnya. Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab,
istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matan
suatu kitab.
Dengan
demikian istilah Syarah tidak hanya uraian dan penjelasan atas naskah
kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti
interpretasi (disertai penafsiran), sebagaimana dapat dilihat pada keumuman
kitab-kitab syarah, baik syarah terhadap pada kitab hadits maupun kitab
lainnya. Selain itu, syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap
suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap
sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadits,
juga disebut dengan syarah.
Latar belakang perlunya Syarah
Hadits
Kegiatan mensyarah hadits sebenarnya
sudah ada sejak zaman Rasulullah, ini terbukti dengan apa yang sering
Rasulullah lakukan yaitu menjelaskan kembali sehubungan dengan pernyataan
sebagian sahabat mengenai ucapan maupun tindakan beliau yang belum jelas bagi
mereka.
Dari kejadian tersebut bisa dimaklumi
jika kemudian generasi setelah para sahabat sangat memerlukan ilmu syarah
hadits untuk menjelaskan semua hal yang telah sampai kepada mereka, dimana pada
generasi setelah sahabat, Rasulullah sudah wafat.
Dalam hal ini, ada 4 perkara yang
melatar belakangi perlu adanya syarah hadits, yaitu:
1. Karakter kalimat yang digunakan dalam
ucapan Rasulullah banyak yang hal sangat mirip dengan karakter kalimat dalam
Allah SWT.
2. Tindakan Rasulullah saw. yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu.
3. Hadits merupakan sumber ajaran agama
Islam. Maka untuk memahaminya dilakukanlah syarah.
4. Umat Islam diwajibkan untuk berpegang teguh
kepada sunnah Rasulullah saw, namun kondisi umat Islam sekarang ini pada
umumnya tidak mampu memahami hadits secara langsung, karena untuk memahami
hadits dibutuhkan secara langsung dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung.
Jika
dilihat dari urgensi pemahaman hadits yang benar kepada kalangan umat sekarang
ini, maka kegunaan ilmu syarah hadits adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan amanah dan menyebarluaskan
sunnah Rasulullah.
2. Menghidupkan dan melestarikan sunnah
Rasulullah saw.
3. Menghindarkan kesalah pahaman terhadap
maksud hadits.
Hukum
mensyarah hadist
Dari paparan di atas mengenai pentingnya syarah hadits untuk
kepentingan dan kebaikan umat Islam pada generasi selanjutnya maka hukum Syarah
hadits itu Fardhu kifayah. Hal
ini bisa dilakukan apabila mereka telah menyadari kewajiban tersebut. Sedangkan
bila mereka tidak menyadarinya, maka kewajiban tersebut menjadi beban
orang-orang yang mengetahuinya saja, termasuk apabila yang mengetahuinya hanya
satu orang saja, sehinggga menjadi fardhu ‘ain.
Sejarah
perkembangan Syarah Hadits
Para ulama membuat periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmunya berdasarkan
sejumlah kategori fakta-faktanya, sehingga periodisasi yang mereka buat tidak
lagi seragam. Sebagian penulis melakukan periodesasi sejarah perkembangan hadits
dengan membaginya menjadi tujuh, yaitu:
1.
Kelahiran hadits hingga Rasulullah
saw. wafat;
2.
Pembatasan riwayat, tahun 12 H
sampai dengan 40 H;
3.
Perkembangan periwayatan dan
perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke -1 H;
4.
Pembukuan hadits, selama abad ke-2
H;
5.
Penyaringan dan seleksi hadits,
selama abad ke-3 H;
6.
Perhimpunan hadits-hadits yang
terlewatkan, sejak awal abad ke-4 H sampai tahun 656 H;
7.
Penulisan kitab-kitab syarah,
kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ke-7 H
Sumber dan sifat Syarah
Sumber hukum syarah hadits adalah Rasulullah saw, atau syarah hadits
dengan hadits. Pada periode berikutnya pensyarahan hadits dilakukan oleh para
sahabat dan generasi-generasi setelahnya.
Istilah syarah hadits dengan hadits dapat dipahami sebagai penjelasan
Rasulullah saw. terhadap ucapan beliau sendiri secara langsung dan dapat
dipahami sebagai syarah hadits dengan berdasarkan pemahaman terhadap hadits
lain. Sumber syarah hadits juga bisa dari keterangan para sahabat atau generasi
berikutnya yang mana memang memiliki keahlian pada bidang hadits yang
disyarahnya. Sumber syarah hadits juga bisa dari hasil pemikiran melalui
berbagai pendekatan.
Ketentuan
Umum Syarah Hadist
Dalam mensyarah ada ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh semua
yang akan mensyarah hadits suatu hadits, baik hadits qawli maupun fi’li,
yaitu:
1.
Apabila hadits yang akan disyarah
itu diriwiyatkan melalui jalur sanad yang lebih dari satu atau terdapat pada
beberapa kitab, maka tidak cukup hanya berpegang kepada satu riwayat, tanpa
memperhatikan riwayat lain sama sekali, melainkan sedapat mungkin seluruh
riwayat tersebut ditelaah untuk kemudian ditetapkan salah satunya sebagai hadits
pokok yang disyarah, lalu hadits yang lain disinggung dalam syarah sebagai data
pendukung. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
2.
Apabila tema hadits-hadits
tersebut sama, namun periwayatannya berbeda-beda pada setiap sanad-sanadnya
saling menguatkan.
3.
Apabila tema hadits-hadits tersebut
sama, namun kata-katanya berbeda, baik dari sisi i’rabnya maupun
sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan makna dan dalam mensyarahnya.
4.
Apabila tema hadits-hadits
tersebut sama, namun pada sebagian riwayat terdapat tambahan sejumlah
kata atau kalimat, atau bahkan dalam sebagian riwayat digabungkan dengan
tema-tema lain atau disertai Sabab Al-Wurud, maka kata-kata tambahan
tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang paling Tsiqat,
dapat diterima.
5.
Apabila perbedaan di antara
riwayat-riwayat tersebut sangat jauh, hingga tidak dapat dikompromikan, maka
hadits-hadits tersebut dinilai Mukhtalif dan diselesaikan dengan Tarjih,
Nasakh, atau cara yang lain lagi.
2.2.2 Mufrodat
Yang dimaksud
Hidayah dan Ilmu menurut hadits diatas adalah sebagaimana yang di jelaskan
dalam Kitab Syarah Hadits Imam Bukhori yaitu Kitab Pathul Bari sebagai berikut
الْهُدَى أَيِ الدَّلَالَةُ الْمُوَصِّلَةُ إِلَى الْمَطْلُوبِ وَالْعِلْمُ
الْمُرَادُ بِهِ مَعْرِفَةُ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ (فتح الباري لابن حجر (1/
176)
Hidayah
ialah bimbingan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan yang di
kehendaki, dan Ilmu yang dimaksud dengannya adalah Pengetahuan tentang Petunjuk
Syariat.
2.2.3
Syarah Ijmali
2.2.3.1
Hidayah (Petunjuk)
Pengertian
Hidayah
Kata
Hidayah adalah dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang telah menjadi bahasa
Indonesia. Akar katanya ialah : hadaa, yahdii, hidaayatan. Khusus yang
terakhir, kata hidaayatan kalau wakaf (berhenti) di baca : Hidayah, nyaris
seperti ucapan bahasa Indonesia.
Hidayah
menurut bahasa berarti petunjuk atau bimbingan. Lawan katanya adalah :
“Dholalah” yang berarti “kesesatan”. Secara istilah (terminologi), hidayah
ialah bimbingan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan
sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Hidayah juga diartikan sebagai Diinul
Islam.
Permohonan
hidayah kepada Allah agar berada pada jalan yang benar adalah sangat penting,
sebab tidak semua hidayah diberikan oleh-Nya secara gratis. Ada hidayah yang
hanya diberikan kepada orang yang mencari dan memohon kepada Allah. Muhammad
Abduh, (Tafsir al-Manar, I/hal.62) Musthafa Almaroghi, (Tafsir
al-Maraghi, I/hal. 35-36) dan Wahbah al-Zuhayli, (al-Tafsir al-Munir,
I/hal.59-60) menerangkan bahwa hidayah itu terdiri atas beberapa macam :
1. (هِدَايَة الإلْهَام الفِطْري)
Hidayah al-ilham al-Fithri
Hidayah
yang diberikan Allah sejak manusia baru lahir, sehingga butuh dan bisa makan
dan minum. Seorang bayi suka menangis jika lapar atau dahaga, padahal tidak ada
yang mengajarinya. Tanpa melalui proses pendidikan, bayi juga bisa tertawa
tatkala bahagia. Hidayah ini diberikan oleh Allah tanpa usaha dan tanpa
permintaan manusia.
2. (هِدَايَة الحَوَاس)
Hidayah al-Hawas.
Hidayah ini diberikan Allah kepada
manusia dan hewan. Bedanya kalau kepada hewan diberikannya secara sekaligus,
dan sempurna sejak dilahirkan induknya. Sedangkan pada manusia hidayah
al-hawas diberikan secara berangsur. Dengan hidayah ini, manusia bisa
membedakan rasa asin, pahit, manis, enak, lada, bau, harum, kasar atau pun
halus, tanpa melalui peroses pembelajaran. Pembelajaran dalam hal ini berfungsi
untuk memfungsikan Hidayah al-Hawas secara optimal. Ini dikenal juga
dengan Panca-Indra yang terdiri atas: lidah sebagai alat rasa; mata sebagai
alat melihat; telinga sebagai alat mendengar; hidung sebagai alat hirup yang
mengetahui bau atau harum; dan kulit bisa merasa panas, dingin atau keras dan
lunak. Itu semua termasuk hidayah al-hawas.
3. (هِدَايَة العَقْل)
Hidayah al-’Aqli.
Seorang manusia, bisa
membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk,
karena ia diberi hidayah al-’aqli. Jadi fungsi hidayatul-Aqli adalah
untuk meluruskan pandangan hidayah al-ilham dan hidâyah al-hawas
yang kadang-kadang salah tanggapannya.
4. ( هِدَايَة الدِّين) Hidayah al-Din atau hidayah
syar’iyah.
Ialah
petunjuk Allah berupa ajaran dan hukum-hukum yang meluruskan kekeliruan yang
muncul akibat aqal yang dipengaruhi nafsu. Untuk meluruskan pendapat akal itu,
maka Allah memberi manusia Hidayah al-Din pedoman hidup yang berfungsi
membimbing manusia ke jalan yang benar. Allah berfirman:
وَ هَــدَ يْنَــاهُ
النَّجْــدَ يْنِ
Dan telah Kami beri petunjuk dua jalan hidup (QS. Al Balad [90]:10)
Ibnu
Mas’ud mengatakan bahwa menurut ayat ini, Allah memberikan jalan hidup itu
terdiri atas baik dan yang buruk. Manusia dengan aqalnya dipersilakan memilih
mana yang baik dan mana yang buruk. Hidayah al-din membimbing manusia
untuk mengambil jalan yang lurus. Namun hidayah ini tidak bisa diperoleh
manusia tanpa melalui peroses pembelajaran. Hanya orang yang mempelajari
syari'ah, yang meraih hidayah al-Din.
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan
yang lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang
beramal shalih, sesungguhnya bagi mereka itu pahala yang maha besar. (QS. Al Isra [17]: 9)
Sesungguhnya
Allah telah memberikan penjelasan sejelas-jelasnya, bahwa Al-Qur’an itu memberi
petujuk ke jalan yang lurus, baik dan mencapai bahagia paripurna.
5. (هِدَايَة التَّوفِيْق والمَعُونَة)
Hidayat al- Taufiq.
Allah
memberikan hidayah yang tersebut di atas, Hidayatul Ilham, Hidayatul-hawas
dan Hidayat al-Din, kepada manusia berlaku umum. Setiap manusia menerima hidayah
ilham, hidayah hawas, hidayah aqal. Kemudian hidayah din, bisa
diperoleh melalui pembelajaran. Namun tidak setiap manusia mendapat hidayah
al-taufîq, walau belajar atau diajari. Tidak sedikit manusia masih senang
memilih jalan yang bertentangan dengan aturan Allah, walau sudah memiliki hidayah
al-Din melalui juru da'wah.
وَ أَمَّا ثَمُودُ فَهَدَ يْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَ ابِ الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk, namun mereka
mengambil jalan buta kesesatan dan meninggalkan petunjuk itu. Maka mereka
disambar petir sebagai siksa yang menghina kan, akibat dari perbuatan mereka (Qs.Fushilat [41]: 17)
Dengan demikian
orang yang menemukan hidayah al-Din, tidak dijamin berakhlaq benar. Tidak
sedikit, orang yang faham tentang hukum agama, tapi akhlaqnya buruk. Hidayah
diniyah yang diturunkan kepada kaum 'Ad adalah melalui Rasul, Hud As (QS.
Al ‘araf (7) : 65). Tsamud menerima hidâyah diniyah dari Allâh melalui Nabi
Shalih As (QS. Al ‘araf (7) : 73). Ahli Madyan menerima hidâyah diniyah
(syara’i) dari Allâh melalui Nabi Syu’aib (QS. Al ‘araf (7) : 85). Fir’aun
menerima hidâyah diniyah dari Allâh melalui Nabi Musa dan Nabi Harun As (Qs
Thaha, Al-Qashash). Abi Thalib, Abu Jahl dan para pengikutnya juga menerima
hidâyah diniyah dari Allâh melalui Rasul I. Namun kaum yang tersebut tadi tidak
mau beriman. Itu sebagai bukti bahwa mereka tidak mendapat hidayah taufiq dari
Allah. Hidayah al-taufîq adalah anugrah Allah yang diberikan kepada
manusia hingga sikap dan perbuatannya memilih yang baik yang sesuai dengan
ajaran al-Islam. Hidayah Taufiq tidak akan diterima tanpa ada usaha
untuk menerimanya, dan tanpa dianugerahkan Allah. Itulah sebabnya, setiap
muslim berusaha dan berdo'a untuk menerima hidayah taufiq. Hidayah Taufiq
hanya akan diberikan Allah kepada orang yang berkeinginan untuk menerimanya.
Orang yang tidak menginginkannya dan tidak berusaha untuk mendapatkannya, tidak
akan menerimanya. Rasulullah berusaha ingin meng-Islamkan Abi Thalib, namun dia
tidak mau. Hidayah Taufiq tidak diterima Abi Thalib, karena dia tidak
mau. Hidayah taufiq tidak diterima Abi Thalib karena dia tidak berusaha
untuk menerimanya dan tidak pula menginginkannya. الصِّرَاط
المُسْتَقِيم adalah
agama Islam yang telah diturunkan Allah melalui seluruh nabi dan rasul-Nya.
Tidak ada nabi dan rasul yang diutus selain mengajarkan al-Islam. Allah
berfirman:
وَهَذَا صِرَاطُ رَ بِّكَ
مُسْتَقِيمًا قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَذَّكَّرُونَ
Dan
inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan
ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. (Qs. Al An’am [6] : 126)
2.2.3.2
Ilmu
Pengertian Ilmu
Ilmu menurut bahasa
berasal dari kata علم يعلم علما , yang artinya mengetahui. Kata Ilmu berbentuk
Isim Masdar yang dibaca ‘Ilman. Ilmu merupakan lawan
kata dari Al-Jahlu yang artinya tidak tahu atau bodoh.
Ilmu
menurut Ushul Fiqh adalah :
اَلْعِلْمُ
هُوَ اَلْاِدْرَاكُ بِالشَّيْءِ
Ilmu adalah mengetahui sesuatu.
Sedangkan
menurut istilah, ilmu adalah penjelasan - penjelasan
atau petunjuk-petunjuk Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya, atau dengan
kata lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut beberapa ahli, yang dimaksud
dengan ilmu adalah :
1. Dr. Maurice Bucaille : Ilmu
adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka waktu yang lama
maupun sebentar.
2. Francis Bacon : Ilmu
adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan hanya fakta-fakta yang dapat
menjadi objek pengetahuan.
3. Charles Singer : Ilmu
adalah suatu proses yang membuat pengetahuan (science is the process which
makes knowledge).
Kedudukan Ilmu dalam Islam
Ilmu menempati
kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari
banyaknya ayat Alquran yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi
dan mulia disamping hadits-hadits Nabi Saw yang banyak memberi dorongan bagi
umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam
Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali ,
ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Alquran sangat
kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi
ciri penting dari agama Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Mahadi Ghulsyani
(1995 : 39) sebagai berikut :
‘’Salah satu
ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap
masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah mengajak kaum muslim untuk mencari
dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat tinggi’’
Allah SWT
berfirman :
يَرْفَعِ ٱللَّهُ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ وَٱللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ...
...Allah
meninggikan baberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu
dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan), dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(al-Mujadallah [58] : 11)
Ayat
di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan
menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan
menjadi pendorong untuk menuntut ilmu ,dan ilmu yang dimiliki seseorang akan
membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah SWT , sehingga akan
tumbuh rasa takut kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT :
وَمِنَ ٱلنَّاسِ
وَٱلدَّوَابِّ وَٱلْأَنْعَٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى
ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰؤُا إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (Q.S.
Fathiir [35] : 28)
Yang
dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui
kebesaran dan kekuasaan Allah.
Disamping
ayat –ayat Alquran yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, Alquran
juga mendorong umat islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seperti tercantum
dalam Firman Allah SWT, yaitu:
فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ
ٱلْمَلِكُ ٱلْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ
بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُۥ وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا
Maka Maha Tinggi
Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran
sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah : "Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Q.S. Thāhā
[20] : 114)
Maksudnya
Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat
demi kalimat, sebelum Jibril a.s selesai membacakannya, agar dapat Nabi
Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah
satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting, dan islam telah sejak awal menekankan
pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman Allah SWT, yaitu :
ٱقْرَأْ
بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ﴿۱﴾ خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ﴿۲﴾ ٱقْرَأْ
وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ﴿۳﴾ ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ﴿٤﴾ عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ﴿٥﴾
“Bacalah dengan meyebut
nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan Kamu dari segummpal darah
. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang paling pemurah.
Yang mengajar (manusia ) dengan perantara kala . Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (Q.S. Al’alaq [96] :1-5)
Ayat
– ayat tersebut , jelas merupakan sumber motivasi bagi umat islam untuk tidak
pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi
dihadapan Allah SWT akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepeada Allah
SWT akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal
shaleh , dengan demikian nampak bahwa keimanan yang disertai dengan ilmu akan membuahkan amal.
Manfaat Mencari Ilmu
Segala
perbuatan yang didasari dengan kebaikan pasti akan menghasilkan kebaikan juga,
termasuk menuntut ilmu.
Allah SWT berfirman :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ
عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ
رَّحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap
orang-orang mukmin. (Q.S. Attaubah [9] : 128)
Dengan
menuntut ilmu, seorang hamba memperhatikan berbagai macam sisi kemashlahatan
dan kemadharatan yang akan timbul dan membaca situasi dan kondisi kaum muslimin
di zaman ini sebelum mengambil sikap.
Dengan
menuntut ilmu seorang hamba berusaha memahami hakikat sesuatu sebelum
memberikan pernyataan terhadap suatu hal tertentu.
Dengan
menuntut ilmu seorang hamba dapat mengetahui kapan dan kepada siapa ia
berbicara, karena tidak setiap ilmu bisa diamalkan pada setiap orang. Allah SWT
berfirman tentang Musa a.s :
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ
بِٱللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ ٱلْجَٰهِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."
mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"
Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil". (Q.S. Albaqarah
[2] : 67)
Adapun Hikmah Allah
menyuruh menyembelih sapi ialah supaya hilang rasa penghormatan mereka terhadap
sapi yang pernah mereka sembah.
Ayat tersebut menjelaskan
kepada kita bahwa kita tidak boleh melakukan sesuatu atau berbicara jika kita
tidak tahu dasarnya atau ilmunya.
Jaminan bagi Para Pencari Ilmu
Mencari Ilmu bukanlah
suatu perbuatan yang merugikan. Sebaliknya, justru mencari Ilmu adalah amalan yang sangat menguntungkan.
Mengapa disebut menguntungkan? Jawabannya adalah karena Allah SWT memberikan
banyak sekali jaminan bagi para pencari ilmu. Diantara jaminan-jaminan Allah
terhadap para pencari Ilmu adalah sebagai berikut :
a.
Memiliki
rasa takut kepada Allah SWT
Allah menjelaskan bahwa rasa takut
(khasyia’) selalu menyertai ilmu. Jadi, kaum yang berilmu adalah orang-orang
yang memiliki rasa takut. Allah SWT berfirman :
ثُمَّ يَوْمَ
ٱلْقِيَٰمَةِ يُخْزِيهِمْ وَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَاءِىَ ٱلَّذِينَ كُنتُمْ
تُشَٰقُّونَ فِيهِمْ قَالَ ٱلَّذِينَ
أُوتُوا ٱلْعِلْمَ إِنَّ ٱلْخِزْىَ ٱلْيَوْمَ وَٱلسُّوءَ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ
Kemudian Allah
menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman: "Di manakah
sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka
(nabi-nabi dan orang-orang mukmin)?" berkatalah orang-orang yang telah
diberi ilmu: "Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas
orang-orang yang kafir", (Q.S.
An-nahl [16] : 27)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang
diberi ilmu Ialah: Para malaikat, nabi-nabi dan orang-orang mukmin.
b. Diangkat oleh Allah beberapa derajat
Allah
SWT berfirman :
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا يَفْسَحِ
ٱللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا فَٱنشُزُوا يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S.
Almujaadilah [58] : 11)
c.
Dimudahkan
baginya jalan menuju surga
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْلُكُ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ
عِلْمًا إِلَّا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقَ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ
عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Dari Abu Hurairah, dia berkata:
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah orang yang meniti jalan untuk menuntut
ilmu kecuali Allah akan memudahkan jalannya menuju surga, sedangkan orang yang
memperlambat dalam mengamalkannya maka tidak akan cepat mendapatkan nasabnya
(keberuntungan). " (Shahih:
Muslim : 3643)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا
سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ
Dari Abi Darda ia berkata : Aku mendengar Rasulullah
Saw bersabda : 'Barangsiapa berjalan untuk menuntut ilmu,
maka Allah akan memperjalankannya di antara jalan-jalan yang ada di surga
(
Shahih Abu Daud : 3641)
d. Dido'akan
oleh Para Malaikat
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ
يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ
فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ
لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ
عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Dari Katsir bin Qais, dia berkata: Ketika aku duduk-duduk bersama
Abu Ad-Darda' dalam sebuah masjid di Damaskus, seorang lelaki mendatangi, Abu
Ad-Darda', dia berkata, "Wahai Abu Ad-Darda', aku datang dari kotanya
Rasulullah lantaran suatu hadits yang telah kamu ceritakan dari Rasulullah. Aku
ke sini untuk keperluan itu (mencari tahu dan memastikan kebenarannya)!" Abu
Ad-Darda lalu berkata, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, 'Barangsiapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memperjalankannya di antara jalan-jalan yang ada di surga, sedangkan malaikat
akan meletakkan sayapnya (memberikan doa) lantaran senang dengan para penuntut
ilmu seluruh penghuni langit serta bumi dan ikan-ikan di dasar laut akan
memintakan ampunan kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, karena
kelebihan dan keutamaan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan atas ahli ibadah
bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama atas bintang-bintang di sekitarnya.
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan
dinar atau dirham, melainkan mewariskan ilmu pengetahuan. Barangsiapa
mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang banyak. (Shahih Abu Daud : 3641)
e. Ulama
adalah Pewaris Para Nabi
Rasulullah Saw pernah bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ
وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا
دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak
mewariskan dinar atau dirham, melainkan mewariskan ilmu pengetahuan.
Barangsiapa mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang banyak. (Shahih Abu Daud :
3641)
Sungguh Allah
benar-benar mengistimewakan para pencari ilmu dengan berbagai
jaminan-jaminannya. Seharusnya jaminan-jaminan tersebut dapat membuat setiap
orang lebih bersemangat lagi dalam mencari ilmu karena jaminan-jaminan tersebut
bukanlah sesuatu yang mudah untuk bisa didapatkan selain dengan jalan mencari
ilmu.
2.2.3.3 Perumpaan Petunjuk dan Ilmu
Perumpamaan orang yang berilmu dengan orang tidak
memiliki ilmu bagaikan siang dan malam, betapa Allah memberikan kebaikan kepada
orang yang berilmu, orang yang mendapatkan kebaikan dari Allah akan dimudahkan
kepadanya memahami agama Allah, sehingga mereka bisa menjadi pakar dan ahli
dalam urusan agama Allah, demikian juga orang yang Allah bukakan ilmu dunia
maka mereka memiliki kemampuan untuk menguasai dunia lebih banyak dari pada
orang yang hidup didunia tanpa mengerti bagaimana mengelola dunia ini.
Allah berfirman :
... قُلْ هَلْ يَسْتَوِى
ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ...
... Katakanlah apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui. ... (Q.S
Az-zumar [39] : 9)
Dengan jelas Allah membuka mata hati kita dengan pertanyaan yang
mengugah untuk melihat dengan jeli perbedaan antara orang-orang yang berilmu
dan orang –orang yang tidak berilmu, kita bisa melihat dengan jelas keberadaan
seseorang yang berpendidikan tinggi dibandingkan orang yang bependidikan
rendah, demikian juga dari sisi pahala ibadah yang mencolok yang diraih oleh
orang yang berilmu dibanding orang yang beribadah hanya berdasarkan mengikuti
orang lain beribadah.
Kenyataan diatas semakin diperjelas oleh Allah SWT
dengan firmannya :
... يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ
أُوتُوا ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ...
...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman
diantara kalian dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat ... (Q.S Al Mujadilah [58] : 11).
Sangat jelas dalam firman Allah di atas, bahwa allah akan meninggikan
derajat seseorang apabila dia beriman dan dia selalu mencari ilmu akhirat
(agama) atau ilmu dunia. Tetapi dalam mencari ilmu akhirat (agama) dan ilmu
dunia harus seimbang.
Rasulullah
shalallahu 'alahi wasallam mengibaratkan sebuah petunjuk ilmu dengan hujan
sebagaimana dalam hadits Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Abu Musa
Al-Asy'ari Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa SalIam bersabda:
Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang
diberikan oleh Allah kepadaku adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi,
lalu ada tanah yang subur yang menyerap air hujan sehingga bisa menumbuhkan
rerumputan dengan subur, dan ada pula tanah yang keras yang bisa menyimpan air
hujan yang Allah mejadikannya bermanfaat bagi umat manusia sebagai air minum
dan untuk mengairi tanaman, serta ada pula tanah yang tandus yang tidak bisa
menyimpan air, juga tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Itulah (contoh pertama
dan kedua) perumpamaan orang yang memahami Isalm yang memperoleh keuntungan
dari ajaran yang diberikan oleh Allah kepadaku, kemudian dia mempelajari dan
mengajrkannya kepada orang lain, sedangkan (contoh ketiga) adalah perumpamaan
orang yang tidak mau memperhatikan ajaran dan tidak menerima petunjuk Allah
yang aku bawa.
Rasulullah Shalallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpamakan ilmu dan
petunjuk yang beliau bawa seperti hujan, karena masing-masing dari ketiganya
(ilmu, petunjuk, dan hujan) mendatangkan kehidupan, makanan, minuman, obat-obatan,
dan seluruh kebutuhan manusia yang lain. Semua itu bisa didapatkan dengan ilmu
dan hujan.
Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan hati manusia
seperti tanah yang mendapatkan siraman air hujan, karena tanah adalah tempat
yang menahan air hujan kemudian menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang
bermanfaat, sebagaimana hati yang memahami ilmu, maka ilmu tersebut berbuah di
dalamnya, berkembang, terlihat ke berkahannya dan buahnya. Ketika niat kita
telah tertuju pada ilmu, telah siap mencari ilmu, dan menerima ilmu maka kita
akan mudah untuk meghapalnya, memahami makna-makna ilmu tersebut, dan mengamalkannya
dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengelompokkan manusia
ke dalam tiga kelompok sesuai dengan penerimaan mereka, dan kesiapan mereka
menghapal ilmu, memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya,
hikmah-hikmah dan manfaat-manfaatnya ;
Perumpamaan yang pertama adalah seperti hujan lebat yang turun
ke bumi
kemudian ada tanah yang subur yang menyerap air hujan sehingga bisa
menumbuhkan rerumputan dengan subur.
Maksud perumpamaan ilmu yang pertama ini ialah orang yang mampu menghapal
ilmu dan memahaminya. Mereka menghapal ilmu yang mereka dapat, setelah itu
mereka memahani ilmu tersebut sehingga mereka dapat memahami makna-maknanya,
mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, dan manfaat-manfaatnya. Setelah
itu mereka pun paham terhadap agama, dan dapat membuat kesimpulan atau istimbath
hukum. Pahamnya terhadap agama dan membuat kesimpulan adalah seperti tumbuhnya
rumput dengan subur.
Perumpamaan yang kedua adalah tanah yang keras yang bisa menyimpan
air hujan yang Allah menjadikannya bermanfaat bagi umat manusia sebagai air
minum dan mengairi tanaman.
Maksudnya ialah orang yang mampu menghapal ilmu, menjaganya,
menyebarkannya, dan mengendalikannya, namun tidak mampu memahami makna-maknanya,
mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan manfaat-manfaat dari ilmu
tersebut. Mereka seperti orang yang mampu membaca Al-Qur'an, menghapalnya,
memperhatikan makharijul huruf (tempat ke-luarnya huruf), dan harakat-nya,
namun tidak dianugerahi pemahaman khusus oleh Allah, seperti dikatakan Ali
Radhiyallahu Anhu, "Kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada hamba-Nya
di dalam Kitab-Nya."
Tingkat pemahaman manusia tentang Allah Ta'ala, dan Rasul-Nya itu tidak
sama. Terkadang ada orang cuma mampu memahami satu atau dua hukum dari satu
dalil, sedang orang lain mampu memahami seratus atau dua ratus hukum dari dalil
yang sama.
Mereka seperti tanah yang mampu menahan (menyimpan) air untuk manusia
kemudian mereka mendapatkan manfaat darinya. Ada yang minum daripadanya,
memberi minum hewan ternaknya, dan bercocok tanam dengannya.
Kedua kelompok di atas adalah kelompok orang yang memahami Islam yang
memperoleh keuntungan dari ajaran yang diberikan oleh Allah juga termasuk
kelompok orang-orang yang berbahagia. Karna telah mempelajari, memberikan
manfaat dan mengajarkannya kepada orang lain.
Kelompok
pertama adalah kelompok yang paling tinggi derajatnya dan kebesarannya dari
seluruh kelompok-kelompok manusia yang ada. Karna kelompok pertama adalah orang
yang dapat menghafal dan memahami ilmu. Allah Ta 'ala berfirman :
ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ
يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَٱللَّهُ ذُو
ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِ
"Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada siapa yang
di-kehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar."
(Al-Jumu'ah [62] : 4).
Perumpamaan yang ketiga adalah tanah yang tandus yang tidak bisa
menahan (menyimpan) air, juga tidak bisa menumbuhkan rereumputan. Maksud perumpamaan yang ketiga ialah orang-orang
yang tidak mendapatkan sedikit pun ilmu; baik hapalannya, atau pemahamannya,
atau periwayatannya.
Mereka adalah kelompok orang-orang celaka, karna mereka tidak mendapatkan
ilmu. Orang yang tidak mendapatkan ilmu hidupnya akan hancur karna dia tidak
mengetahui mana yang salah mana yang benar, mana yg haram mana yang halal, dsb.
Dan mereka termasuk orang yang tidak mau memperhatikan ajaran dan tidak
menerima petunjuk Allah yang Rasulullah saw bawa.
Kelompok pertama dan kelompok kedua mempunyai ilmu dan mengajarkannya
sesuai dengan ilmu yang diterimanya dan sampai padanya. Kelompok kedua
mengajarkan kata-kata Al-Qur'an dan menghapalnya, sedang kelompok pertama
mengajarkan makna-makna Al-Qur'an, hukum-hukumnya, dan ilmu-ilmunya.
Sedang kelompok ketiga, mereka tidak mempunyai ilmu apalagi
mengajarkannya. Mereka tidak bisa "diangkat" dengan petunjuk Allah,
dan tidak menerimanya. Mereka lebih brengsek dari hewan ternak, dan mereka adalah
bahan bakar neraka.
Hadits mulia di atas memuat kemuliaan ilmu, pengajarannya, posisinya, dan
kecelakaan orang yang tidak mempunyai ilmu.
Hadits di atas juga mengklasifikasi manusia menurut barometer ilmu ke
dalam dua kelompok; kelompok orang-orang celaka dan kelompok orang-orang
bahagia, dan mengklasifikasi kelompok orang-orang bahagia ke dalam dua
kelompok; kelompok pemenang yang didekatkan kepada Allah dan kelompok kanan
yang pertengahan.
lni menjadi bukti, bahwa kebutuhan manusia kepada ilmu itu seperti kebutuhan
mereka kepada hujan, bahkan lebih besar lagi. Jika mereka tidak memiliki ilmu,
mereka tak ubahnya seperti tanah yang tidak mendapatkan hujan.
Imam Ahmad berkata, "Kebutuhan manusia kepada ilmu itu lebih besar
daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan
minuman hanya dibutuhkan sekali atau dua kali dalam satu hari, sedang ilmu itu
dibutuhkan sebanyak jumlah nafas."
Allah
Ta'ala berfirman :
أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَٱحْتَمَلَ ٱلسَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا وَمِمَّايُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِى ٱلنَّارِ
ٱبْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَٰعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُۥ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْحَقَّ
وَٱلْبَٰطِلَ ...
Allah telah menurunkan air (hujan)
dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus
itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam
api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih
arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
batil. ... (Ar-Ra'du [13]
: 17).
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpamakan ilmu yang Dia turunkan kepada
Rasul-Nya seperti air yang Dia turunkan dari langit, karena masing-masing dari
ilmu dan air hujan mendatangkan kehidupan dan kemaslahatan bagi manusia di
dunia dan akhirat mereka.
Allah Ta'ala juga mengumpamakan hati manusia seperti lembah. Hati yang
besar yang mampu menampung ilmu yang banyak adalah seperti lembah besar yang
mampu menampung air yang banyak, dan hati yang kecil yang hanya mampu menampung
ilmu yang sedikit adalah seperti lembah kecil yang hanya mampu menampung air
yang sedikit. Allah Ta'ala berfirman, "Maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang.
" Itulah perumpamaan yang dibuat Allah Ta'ala tentang ilmu, bahwa jika
ilmu telah bercampur dengan hati, maka ilmu mengeluarkan buih syubhat yang
batil dari dalam hati kemudian buih syubhat mengapung di permukaan hati,
sebagaimana arus di lembah mengeluarkan buih yang mengapung di atas permukaan
air.
Allah Subhanahu
wa Ta'ala menjelaskan, bahwa buih itu mengapung, berada di atas permukaan air,
dan tidak menempel kuat di tanah lembah. Demikian juga syubhat-syubhat yang
batil, jika ia telah diusir oleh ilmu dari dalam hati, ia pun mengapung di
permukaan hati, tidak menetap di dalamnya, bahkan kemudian pada tahap
berikutnya terbuang, dan yang menetap di dalam hati ialah apa yang bermanfaat
bagi pemiliknya dan manusia secara umum, yaitu petunjuk dan agama yang benar,
sebagaimana yang menetap di dalam lembah ialah air murni, sedang buihnya musnah
karena tidak ada harganya. Tidak ada yang memahami perumpamaan-perumpamaan
Allah Ta'ala kecuali orang-orang berilmu.
Allah Ta 'ala membuat
perumpamaan yang lain dengan berfirman, "Dan dari apa (logam) yang mereka
lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya
seperti buih arus itu." Maksudnya, bahwa jika manusia membakar benda-benda
padat seperti emas, perak, tembaga, dan besi, maka benda-benda tersebut
mengeluarkan kotoran dalam bentuk buih yang sebelumnya menyatu dengannya. Buih
kotoran tersebut dibuang dan dikeluarkan, sedang yang tersisa adalah perhiasan
asli saja.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala membuat perumpamaan berupa air, karena air memberi kehidupan,
mendinginkan (menyegarkan), dan mengandung manfaat-manfaat yang banyak sekali.
Allah Ta'ala juga membuat perumpamaan berupa api, karena api mengandung cahaya,
dan membakar apa saja yang tidak bermanfaat.
Jadi ayat-ayat
Al-Qur'an itu menghidupkan hati sebagaimana tanah dihidupkan dengan air.
Ayat-ayat Al-Qur'an juga membakar kotoran-kotoran hati, syubhat-syubhatnya,
syahwat-syahwatnya, dan dendam kesumatnya sebagaimana api membakar apa saja
yang di-masukkan ke dalamnya. Selain itu, ayat-ayat Al-Qur'an juga membedakan
mana yang baik dari yang buruk sebagaimana api membedakan mana yang buruk dan
mana yang baik yang ada pada emas, perak, tembaga, dan lain sebagainya.
Inilah
sebagian ibrah dan ilmu yang ada dalam perumpamaan yang agung di atas. Allah
Ta'ala berfirman :
وَتِلْكَ
ٱلْأَمْثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا
يَعْقِلُهَا إِلَّا ٱلْعَٰلِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada
yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Q.S Al-Ankabut [29] : 43).
BAB III
KHATIMAH
3.1
Kesimpulan
Takhrij adalah menunjukkan keberadaan
suatu hadits di dalam kitab-kitab yang merupakan sumber utama hadits dengan
mencantumkan sanad, kemudian menjelaskan tingkatan-tingkatannya ketika
dibutuhkan. Atau
mengemukakan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya, yakni orang
yang menjadi matan rantai tersebut.
Syarah
adalah member catatan dan komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Syarah
tidak hanya terbatas pada penjelasan naskah kitabyang berkutat dengan eksplanasi,
melainkan juga uraian dalam arti interpretasi. Demikian juga uraian
dan penjelasan hadits secara lisan dalam proses belajar, pengajian, khutbah,
ceramah dan sejenisnya bisa juga disebut meng-Syarah Hadits.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah mengibaratkan sebuah petunjuk dan ilmu dengan hujan,
yaitu :
Perunpamaan yang pertama adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi
kemudian ada tanah yang subur yang menyerap air hujan sehingga bisa menumbuhkan
rerumputan dengn subur. Maksudnya adalah orang yang mampu menghapal ilmu dan
memahaminya, sehingga mereka dapat memahami makna-maknanya, mengeluarkan
hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, manfaat-manfaatnya dan dapat membuat
kesimpulan.
Perumpamaan yang kedua adalah tanah yang
keras yang bisa menyimpan air hujan yang Allah menjadikannya bermanfaat bagi
umat manusia sebagai air minum dan mengairi tanaman. Maksudnya adalah orang
yang mampu menghafal ilmu, menjaganya, menyebarkannya dan mengendalikannya,
tetapi tidak bisa memahami makna-maknanya.
Kedua kelompok diatas adalah kelompok orang yang
mendapatkan ilmu, memahami islam dan memperoleh keuntungan dari ajaran yang
diberikan oleh Allah juga termasuk kelompok orang-orang yang berbahagia.
Perumpamaan yang ketiga adalah tanah yang tandus
yang tidak bisa menahan (menyimpan) air, juga tidak bisa menumbuhkan
rereumputan. Maksudnya adalah orang-orang
yang tidak mendapatkan sedikit pun ilmu; baik hapalannya, atau pemahamannya,
atau periwayatannya. Mereka
adalah kelompok orang-orang yang celaka, karna tidak mendapatkan ilmu.
3.2
Saran
3.2.1
Saran untuk Lembaga Pendidikan
Pendidikan menjadi tahap penilaian
seseorang. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin
tinggi pula derajatnya dengan ilmu yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam Al-Qur’an bahwa seseorang yang memiliki ilmu akan diangkat
derajatnya.
Maka dari itu, pelaksanaan secara
langsung dalam sebuah pembelajaran itu sangat penting. Karena adakalanya ilmu
yang didapatkan hanya akan menjadi sia-sia tanpa adanya sebuah praktek.
Dengan diadakannya program ini,
merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi penulis, karena dengan adanya
program ini generasi muda bisa lebih berfikir kritis dalam mengungkapkan sebuah
masalah yang dituangkan dalam sebuah tulisan. Oleh karena itu, perlu
ditingkatkan bimbingan mengenai Risalah Qashirah guna meningkatkan kualitas
bagi generasi muda selanjutnya dan bisa menjadikan generasi yang berprestasi.
3.2.2
Saran untuk Pembaca
Risalah Qashirah ini merupakan tugas
yang berat dan menantang bagi penulis, dikarenakan sulit dalam penyusunan dan
pembuatannya. Walaupun penulis telah berusaha sekuat tenaga untuk
menyelesaikannya dengan baik, tetapi masih terdapat kekurangan dan kekeliruan
di dalamnya. Perlu kiranya pembaca dapat memakluminya dan apabila ada kesalahan
dalam penulisan Risalah Qashirah ini penulis mengharapkan ada masukan dan
kritik yang bersifat membangun, agar konsep Risalah Qashirah ini lebih jelas
dan benar.
3.2.3
Saran untuk Penulis
Pembuatan Risalah Qashirah ini bukanlah
sesuatu yang mudah. Tidak semudah membalikan telapak tangan. Semuanya
membutuhkan perjuangan dan pemikiran yang keras.
Risalah Qashirah ini memberikan
pelajaran bagi penulis untuk lebih menghargai sesuatu dan berusaha untuk
mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dalam penyusunan Risalah Qashirah
penulis mendapat banyak ilmu pengetahuan yang baru dan berharga yang sebelumnya
tidak pernah terpikirkan. Ilmu yang penulis dapatkan akan sangat berguna di
jenjang perkuliahan saat akan pembuatan skripsi.
3.2.4
Saran untuk Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini sebenarnya belum tuntas,
masih banyak ilmu Allah yang belum terungkap. Oleh karena itu, untuk penelitian
selanjutnya diharapkan dapat lebih memperdalam ilmu Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadits.
SINOPSIS
Allah
SWT. mengutus
Rasul untuk seluruh manusia
di muka bumi ini dengan membawa kebenaran sebagai petunjuk bagi seluruh umat. Seluruh umat, telah menerima paham dari Rasulullah
saw. bahwa sumber hukum Islam yang pertama ialah Al-Quran dan yang kedua adalah
Sunnah yang shahih. Sunnah merupakan ucapan langsung dari Rasulullah saw.
Apabila diucapkan dengan kata-kata maka disebutlah Hadits. Perlu diketahui
bahwa Hadits itu ada yang shahih, ada pula yang dhaif.
Mencari tahu penjelasan
Hadits, tidaklah semudah menafsirkan Al-Quran yang sudah jelas keshahihannya.
Sehingga dibutuhkan beberapa ilmu untuk mengetahui kualitas suatu hadits. Salah
satu ilmu itu ialah Ilmu men-Takhrij dan men-Syarah Hadits. Takhrij
adalah kegiatan atau usaha mempertemukan matan hadits dengan sanadnya. Sedangkan
Syarah adalah penjelas matan hadits.
Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Perumpamaan Petunjuk dan
Ilmu
Hidayah
ialah bimbingan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan yang di Kehendaki, dan Ilmu yang
dimaksud dengannya adalah Pengetahuan tentang Petunjuk Syariat.
Perumpamaan
petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepadaku adalah seperti hujan lebat
yang turun ke bumi, lalu ada tanah yang subur yang menyerap air hujan sehingga
bisa menumbuhkan rerumputan dengan subur, dan ada pula tanah yang keras yang
bisa menyimpan air hujan yang Allah mejadikannya bermanfaat bagi umat manusia
sebagai air minum dan untuk mengairi tanaman, serta ada pula tanah yang tandus
yang tidak bisa menyimpan air, juga tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Itulah
(contoh pertama dan kedua) perumpamaan orang yang memahami Isalm yang
memperoleh keuntungan dari ajaran yang diberikan oleh Allah kepadaku, kemudian
dia mempelajari dan mengajrkannya kepada orang lain, sedangkan (contoh ketiga)
adalah perumpamaan orang ynag tidak mau memperhatikan ajaran dan tidak menerima
petunjuk Allah yang aku bawa.” Berkata Abu Abdullah; Ishaq berkata: "Dan
diantara jenis tanah itu ada yang berbentuk lembah yang dapat menampung air
hingga penuh dan diantaranya ada padang sahara yang datar".
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul
dan Terjemahnya, Departemen Agama
صحيح
البخاري – المجلّد الاوّل ، الإمام ابي عبد الله محمّد بن إسماعيل بن إبراهيم ابن
مغيرة بن بردزبة البخاري الجعفى
فتح الباري شرح صحيح البحاري، الإمام الحافظ احمد بن علي
بن حجر العسقلاني
ميزان
الإعتدال ، ابن عبد الله محمّد بن عثمان الذهبى
خلاصة
تذهيب تهذيب الكمال ، الإمام الحافظ صفيّ الدّين احمد بن عبد الله الخزريّ
Hasan,
Abdul Qadir. 2007. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung : CV Penerbit
Diponegoro
Ibnu Hajar Al
Asqalaniy. Al Hafidz. Fath al Bariy Syarah Shahih Imam al-Bukhariy.
Beirut : Dar al-Fikr. t.th
Ahmad
Mushthafa al-Maraghiy. Prof. Tafsir Al-Maraghiy. Beirut : Darul Fikr.
t.th
Zaidun
Achmad. 2002. Ringkasan Hadits Shahih Bukhari. Jakarta : Pustaka Amani.
t.th
Ishmah Azimah Akhyar. 2013. Risalah
Qashirah. Dirasah Tahliliyah tentang Mencari Ilmu. Hakikat Iman dan Amal
Shaleh
Mareta Syawaliati. 2011. Risalah
Qashirah. Dirasah tahliyah tentang Usman bin Affan RA, Keutamaan Sahabat
Muhammad Abduh. Tafsir al-Manar.
Wahbah
al-Zuhayli. al-Tafsir al-Munir.
Komentar
Posting Komentar